Jumat, 20 Juli 2018

Renungan Minggu Keempat Juli 2018


KEKRISTENAN YANG DEWASA
( IBRANI 5 : 14 )

Dalam hidup ini setiap manusia pastinya mengalami pertumbuhan layaknya seorang bayi akan tumbuh menjadi anak-anak, remaja, dewasa, dan menjadi orang tua. Dalam pertumbuhan yang ada tentu saja di sertai  dengan kedewasaan dalam sifat, sikap serta tingkah laku. Begitu pula dalam hidup kekristenan,  Tuhan mengharapkan kita untuk terus bertumbuh menjadi kristen yang dewasa sehingga bukan hanya menjadi bayi rohani saja.  karena kita  adalah calon dari mempelai Kristus. Maka itu,  kita harus senantiasa bertumbuh menjadi dewasa.
Tanda dari kedewasaan rohani yaitu harus memiliki fokus kepada Tuhan, dan tidak terpengaruh oleh keadaan apapun. Sekalipun menghadapi banyak masalah, namun tetap berkeyakinan hanya pada Tuhan. Senantiasa mengandalkan Tuhan dan memiliki penyerahan penuh kepadaNya, maka di segala keadaan selalu mengucap syukur.  Berbeda dengan seorang Kristen yang tidak mengalami pertumbuhan, mudah sekali goyah dan terombang-ambing oleh situasi;  percaya kepada Tuhan Yesus tetapi masih juga pergi dan mencari pertolongan kepada paranormal, masih percaya kepada primbon, Feng Shui, ramalan bintang dan lain-lain.
Selain dari itu, Kristen yang dewasa setidaknya harus menghasilkan buah.  Mereka yang dewasa secara rohani akan memiliki hidup yang selalu menjadi berkat bagi orang lain. Matius 5:16 mengatakan bahwa kita adalah garam dan terang dunia jadi kita harus dapat memiliki terang Kristus serta dapat menjadi teladan.
Tanda berikutnya yaitu hidup dalam pimpinan Roh Kudus.  Artinya tidak lagi hidup menurut keinginan daging, karena sudah mampu menimbang dan membedakan mana yang baik dan benar.  Dalam Ibrani 5:14 dikatakan,  “…makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat.”
Untuk menjadi dewasa rohani setiap kita harus siap mengalami proses sebab pada akhirnya setiap proses akan membawa kebaikkan bagi diri kita. Pada waktu di proses memang tidak menyenangkan namun dapat membuat iman kita semakin bertumbuh dalam Kristus. Roma 8:28 menjelaskan Tuhan selalu bekerja di dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi kita yang. mengasihi Dia. Sehingga dalam keadaan apapun kita harus tetap kuat dan teguh, sehingga kita pun juga dapat mengalami Tuhan lebih dalam lagi. Amin

Jumat, 13 Juli 2018

Renungan Minggu Ketiga Juli 2018


HATI HATI DENGAN KESIBUKAN
( II TIMOTIUS 3 : 1 – 9 )

Sibuk adalah kata yang akrab menemani perjaanan hidup manusia di abad ini. Banyak orang terjebak dalam kesibukan yang menggunung. Pekerjaan kantor yang terus menumpuk dan tanggung jawab yang semakin besar menjadi dalih pembenaran.
Di banyak tempat, hampir setiap hari orang “berkelahi” dengan waktu. Akibatnya, orang tidak lagi memiliki waktu untuk diri sendiri, keluarga, apalagi untuk Tuhan. Waktunya telah habis dalam perjalanan. Konsekuensinya, dalam keluarga pun anak memberontak kepada orangtua yang sudah sekian lama kurang memerhatikan mereka.
Sibuk menjadi kata yang semakin populer di tengah masyarakat. Dalam aksara Cina, kata “sibuk” berarti “kematian hati” atau “hati yang mati”. Ya, kesibukan cenderung membuat orang “mati rasa”. Ia mencuri dan merampas hal yang berharga dalam hidup kita, yakni kepekaan. Orang yang sibuk bisa kehilangan kepekaan terhadap Tuhan dan sesama. Lebih parah lagi, orang yang sibuk lama-kelamaan bisa menjadi egois—tidak lagi peduli pada manusia di luar dirinya.
Rasul Paulus mengingatkan anak didiknya, Timotius yang masih muda. Paulus membukakan tentang kondisi manusia akhir zaman kepada Timotius. Kondisi di mana manusia akan “mencintai dirinya sendiri [egois], menjadi hamba uang, membual, menyombongkan diri, menjadi pemfitnah, berontak terhadap orangtua, tidak tahu berterima kasih, dan tidak memedulikan agama” (2 Timotius 3:2). Sebagai anak Tuhan, mari kita latih kepekaan rohani dalam mencermati tanda zaman, agar tidak terjebak dalam kematian hati.

BERHATI-HATILAH SAAT KITA MULAI MENGKLAIM DIRI SIBUK
DALAM KESIBUKAN-NYA, YESUS MASIH BISA BERDOA


Sabtu, 07 Juli 2018

Renungan Minggu Kedua Juli 2018


MENGUATKAN HATI
... Aku tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.
( Yosua 1:5 )

Setelah empat puluh tahun memimpin bangsa Israel, Musa meninggal. Bangsa Israel menangisi Musa di dataran Moab selama tiga puluh hari (Ul. 34:8). Tuhan menetapkan Yosua, abdi Musa, menggantikannya memimpin bangsa Israel ke negeri yang dijanjikan-Nya.
Bagaimana kira-kira perasaan Yosua pada saat itu? Kitab Suci tidak menggambarkannya secara terperinci, namun mencatat bahwa Tuhan menyatakan janji dan penyertaan-Nya kepada pemimpin baru itu. Bisa jadi Yosua khawatir. Bagaimana mereka dapat hidup tanpa Musa? Apa yang harus dilakukannya? Akankah bangsa itu mengikuti dirinya seperti mereka mengikuti Musa? Dan sederet pertanyaan lain memenuhi benaknya.
Nyatanya, Tuhan meneguhkan penyertaan-Nya, menjanjikan keberhasilan, dan menggugah Yosua untuk menguatkan dan meneguhkan hati. Dia juga mengingatkan bangsa itu, agar memerhatikan hukum-hukum-Nya, tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri. Dia memperlihatkan kepada mereka bentang wilayah yang akan diserahkan kepada bangsa itu. Ya, mereka tidak perlu kecut atau tawar hati, karena Tuhan sendiri yang memimpin mereka ke mana pun mereka pergi. 
Kita mungkin pernah atau akan mengalami hal yang serupa: Kehilangan orang—atau malah pemimpin—yang kita kasihi. Tentu saja hati kita terasa berat menerima kenyataan bahwa orang tersebut tidak lagi bersama-sama dengan kita. Itulah saatnya kita menguatkan dan meneguhkan hati, dan memandang Tuhan, Pemimpin Sejati kita.


ORANG DAPAT DATANG DAN PERGI,
NAMUN TUHAN SENANTIASA MENYERTAI KITA

Minggu, 01 Juli 2018

Renungan Minggu Kesatu Juli 2018


TELADAN HIDUP
Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian.
Hormatilah ayahmu dan ibumu--ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini:  supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi.  Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka didalam ajaran & nasihat Tuhan.
(Epesus 6 : 1 – 4 )

Puisi yang ditulis Inayah Wahid membuat trenyuh umat yang hadir di acara peringatan tujuh hari wafatnya Gus Dur. “Karena Ayahku”, judulnya. “Kalau aku jadi orang dermawan, itu karena ayahku yang mengajarkan. Kalau aku jadi orang toleran, itu karena ayahku yang menjadi panutan. Kalau aku jadi orang beriman, itu karena ayahku yang menjadi imam. Kalau aku jadi orang yang rendah hati, itu karena ayahku yang menginspirasi. Kalau aku jadi orang yang bercinta kasih, itu karena ayahku yang memberi tanpa pamrih. Kalau aku membuat puisi ini, itu karena ayahku yang rendah hati.”
Ironisnya, pada hari yang sama, muncul berita lain yang bertentangan dengan peristiwa mengharukan di atas. Seorang pria Italia meludahi jenazah ibunya yang disemayamkan di Swiss, lantaran menyimpan dendam. Rupanya, semasa kecil ia sering dipukuli ibunya. Andai perasaan pria itu dituliskan pula dalam bentuk puisi, mungkin kira-kira begini bunyinya: “Kalau aku jadi orang pendendam, keras, dan tak mampu mengontrol diri, itu karena orangtuaku yang mengajarkan.”
Karakter anak terbentuk dari kebiasaan hidup sehari-hari bersama orangtua dan orang-orang di sekitarnya. Dan, faktor dominan yang membentuk karakter mereka ialah apa saja yang mereka lihat, alami, dan rasakan dari orangtua khususnya pada usia anak-anak. Firman Tuhan menasihati dan mengajak orangtua—sebagai manusia baru—agar waspada: “Dan kamu, Bapak-bapak, janganlah bangkitkan kemarahan di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Ya, semua yang ditabur orangtua dalam hidup anak-anak hari ini, kelak pasti akan dituai.


SEPERTI BONSAI MENGIKUTI BENTUK YANG DIMAUI PEMILIKNYA
BEGITULAH KARAKTER ANAK MENGIKUTI DIDIKAN ORANGTUANYA
 


Renungan Minggu Keempat Juni 2018


DARI YANG KECIL
            “Siapa saja yang setia dalam hal-hal kecil, ia setia juga dalam hal-hal besar.”
(Lukas 16:10a)

Seorang pendeta mengadakan doa pagi setiap hari Sabtu di gereja. Seorang bapak menantangnya untuk mengadakan doa pagi setiap hari, bukan hanya pada hari Sabtu. Ia berjanji pasti hadir jika doa pagi diadakan setiap hari. Namun, bagaimana mungkin ia bisa hadir dalam doa pagi setiap hari sedangkan dalam doa pagi yang diadakan setiap Sabtu saja ia tidak pernah hadir? 
Kesetiaan dalam perkara kecil menentukan kesetiaan dalam perkara besar. Yusuf setia mengerjakan pekerjaannya sebagai budak sampai Potifar memberinya kuasa atas seluruh rumahnya (Kej. 39:1-6). Di penjara pun Yusuf setia melakukan perkara kecil sehingga kepala penjara mempercayakan semua tahanan kepadanya (Kej. 39:20-23). Akhirnya, Yusuf dilantik sebagai penguasa atas seluruh tanah Mesir (Kej. 41:41). Daud, si bungsu yang tidak diperhitungkan oleh Isai, ayahnya, juga setia. Saat nabi Samuel mengundang ke upacara pengurbanan (1Sam. 16:5), ayahnya menyuruh Daud menggembalakan kambing domba yang hanya dua tiga ekor (1Sam. 16:11, 17:28). Akhirnya, Samuel mengurapi Daud di tengah saudara-saudaranya (1Sam. 16:12-13). 
Kebanyakan orang ingin langsung mendapat kepercayaan melakukan tugas besar dan terhormat. Saat ini mungkin kita merasa hanya mendapat tugas kecil, sepele, dan kurang berarti. Walaupun banyak orang tidak mau melakukannya, tetaplah setia mengerjakannya secara bertanggung jawab. Tuhan memperhitungkan kesetiaan kita. Bila kita setia dalam perkara kecil, Dia akan mempercayakan perkara yang lebih besar lagi.


ORANG YANG TIDAK SETIA DALAM PERKARA KECIL,
MUSTAHIL BISA SETIA DALAM PERKARA BESAR